Pergumulan studi lanjutku part 1
Dalam blog ini aku akan bercerita tentang proses study lanjutku dari awal hingga perjalanannya kemudian. Anggap saja ini adalah sebuah catatan harian tentang bagaimana awalnya, prosesnya dan bagaimana aku menjalaninya.
Mungkin aku termasuk orang yang perfectionist dalam hal memilih tempat studi. Kalau bukan perpectionist ya idealist hehehe..
Dulu dari sejak mahasiswa akhir dan awal-awal selesai kuliah, sebagaimana muda-mudi yang lain, aku bermimpi agar bisa sekolah di Amerika. Mungkin karena info-info yang aku dapat bahwa sekolah di sana bagus-bagus. Juga di akhir studi S-1 ku tawaran untuk sekolah di sana sempat mampir di depan mata. Email-emailku dengan kakak kandungku yang sedang bekerja di sana, sempat dia minta agar aku memikirkan serius apakah aku mau sekolah di sana. Tetapi bebanku untuk pelayanan siswa di Jogjakarta waktu itu sangat besar, lebih besar dari keinginanku untuk sekolah di Amerika sekalipun. Dan aku melewatkan kesempatan itu, dengan sadar bahwa hal itu mungkin tidak akan pernah terulang lagi.
2 tahun yang lalu keinginan untuk sekolah itu muncul lagi. Setelah sekian tahun bekerja dan memikirkan bahwa sudah saatnya untuk up grade diri dan sabbhatical. Aku berupaya keras mencari info-info lewat web, dll. Mencari kemungkinan beasiswa, mengirim email, memulai aplikasi, mencoba untuk mengajukan aplikasi. Tapi pintu untuk ke sana tertutup rapat dan tidak ada jalan terbuka. Secara pendanaan, juga tidak pasti, beasiswa sangat sulit dan minim untuk bidang study theologia yang ingin aku pelajari. Akhir tahun lalu, aku mutung.. dan setelah sekian lama aku sadar bahwa aku telah gagal. Teringat pada kesempatan yang pernah ada di depanku. Namun aku tidak menyesalinya, karena aku secara sadar dan tahu konsekwensinya, dulu aku lebih memilih untuk melayani Tuhan di ladang pelayanan siswa-mahasiswa.
Yah, mungkin suatu saat aku bisa sekolah di sana pikirku. Terbayang website sebuah campus yang aku ingin untuk ada di sana beberapa tahun yang lalu. Suatu saat mungkin Tuhan buka jalan supaya aku ada di sana.
Sebuah sms muncul di HPku di akhir tahun yang lalu. SMS itu berbunyi "Selamat Tahun Baru. Gimana kabar studymu? Jadi ambil di Singapura?" Ya, dulu aku sempat tanya-tanya tentang study di Singapura. Akhirnya, teman itu memberi sebuah contact person rektor sebuah tempat study, dan aku menghubunginya untuk mendapatkan informasi studi di tempat itu.
Email itu berlanjut ke proses aplikasi, pembaharuan paspor, membuat tulisan tentang pertobatanku, visiku, panggilan dan rencana kedepan serta aktivitas & pekerjaan selama ini. Tulisan berbahasa inggrispun mulai kubuat. Aplikasi secara hati-hati aku isi. dan ketika semua sudah lengkap persyaratan yang ada, aku mengirimkan aplikasi tersebut. Passport yang sudah kadaluarsa bulan itupun kuperpanjang. Pass foto dipersiapkan. Rekomendasi dari orang yang dikenal dekatpun sudah terkirimkan. Semua sudah lengkap dan tinggal menunggu keputusan.
Hal kedua yang merisaukanku adalah masalah pendanaan studi. Biaya studi di luar negeri itu mahal. mungkin dua kali biaya studi di Indonesia. Seperti masuk sekolah kedokteran saja rasanya meliat anggaran yang ada di depanku.
Tapi hal itu tidak membuat putus asa. Aku coba pendekatan yang selama ini aku lakukan kalau mengalami masalah atau kendala. Mencoba mencari jalan keluar yang mungkin untuk dijalani.
Aku mencoba melihat semua resources yang ada saat ini. Orang-orang, relasi, akses untuk beasiswa, tunjangan pokok dari tempat aku kerja saat ini yang masih diberikan selama studi. Aku mencoba menghitungnya dengan baik. Munculah angka-angka yang aku bergumul bagaimana untuk mendapatkannya. Aku paling tidak suka pinjam uang. Dan itu adalah alternatif paling terakhir bagiku jika sudah amat sangat mepet dan tidak ada lagi jalan keluar. Juga aku belajar bergantung pada Tuhan dalam memenuhkan segala kebutuhanku.
Pergumulan tentang pendanaan ini berlangsung 2 bulan terakhir. Akhirnya aku belajar untuk mulai share ke keluarga (kakak-kakak dan saudara). Awalnya responnya datar.. ada yang diam, menanggapi biasa saja, ada juga yang sangat support. Ya, keluarga merupakan tempat bagiku berbagi, walaupun termasuk susah budaya di keluargaku kalau pinjam uang dengan saudara yang lain (sangat tidak mengenakkan). Tetapi support dari seorang kakakku membuatku yakin bahwa masih ada kakak yang peduli dan memperhatikan kondisi adiknya. Ya, satu kakak bersedia memberikan support. Mungkin kasus setiap orang bisa berbeda-beda ya. Aku lebih suka melibatkan keluargaku untuk masalah ini.
Sisanya yang lain adalah bergantung pada Tuhan tentang bagaimana kelanjutannya. Dari awal, sangat terasa bahwa semua usahaku berujung pada ketidakpastian yang diberi-Nya. Supaya aku bergantung pada Tuhan dan bukan pada kekuatanku sendiri. Secermat apapun aku memikirkannya, merencanakannya, selalu lebih besar ruang ketidakpastian itu karena di situ aku bergantung pada-Nya.
Saat ini, 3 bulan sebelum studiku di mulai, baru 33 % dari total biaya 1 tahun yang pasti. Sisanya aku belum tahu dari mana. Aplikasi sponsor atau beasiswaku belum ada tanggapan yang jelas. Masih tertutup. 33 % itupun tergantung komitmen dari yang memberinya. Jadi kalau boleh dibilang tetap saja hasil akhirnya adalah Belajar bergantung pada TUHAN sepenuhnya, bukan pada kekuatanku.
Aku akan cerita perkembangan, langkah demi langkah kecilku menuju tempat studiku di blog ini. Sekedar berbagi dan bercerita. Supaya ketika aku membaca ulang tulisan ini, aku tahu Tuhan berkarya jauh lebih dasyat dari apa yang aku doakan dan gumulkan.
Doakan saya ya.. Thanks karena sudah berdoa. Met persiapan paskah.
Blessings,
Fona
Mungkin aku termasuk orang yang perfectionist dalam hal memilih tempat studi. Kalau bukan perpectionist ya idealist hehehe..
Dulu dari sejak mahasiswa akhir dan awal-awal selesai kuliah, sebagaimana muda-mudi yang lain, aku bermimpi agar bisa sekolah di Amerika. Mungkin karena info-info yang aku dapat bahwa sekolah di sana bagus-bagus. Juga di akhir studi S-1 ku tawaran untuk sekolah di sana sempat mampir di depan mata. Email-emailku dengan kakak kandungku yang sedang bekerja di sana, sempat dia minta agar aku memikirkan serius apakah aku mau sekolah di sana. Tetapi bebanku untuk pelayanan siswa di Jogjakarta waktu itu sangat besar, lebih besar dari keinginanku untuk sekolah di Amerika sekalipun. Dan aku melewatkan kesempatan itu, dengan sadar bahwa hal itu mungkin tidak akan pernah terulang lagi.
2 tahun yang lalu keinginan untuk sekolah itu muncul lagi. Setelah sekian tahun bekerja dan memikirkan bahwa sudah saatnya untuk up grade diri dan sabbhatical. Aku berupaya keras mencari info-info lewat web, dll. Mencari kemungkinan beasiswa, mengirim email, memulai aplikasi, mencoba untuk mengajukan aplikasi. Tapi pintu untuk ke sana tertutup rapat dan tidak ada jalan terbuka. Secara pendanaan, juga tidak pasti, beasiswa sangat sulit dan minim untuk bidang study theologia yang ingin aku pelajari. Akhir tahun lalu, aku mutung.. dan setelah sekian lama aku sadar bahwa aku telah gagal. Teringat pada kesempatan yang pernah ada di depanku. Namun aku tidak menyesalinya, karena aku secara sadar dan tahu konsekwensinya, dulu aku lebih memilih untuk melayani Tuhan di ladang pelayanan siswa-mahasiswa.
Yah, mungkin suatu saat aku bisa sekolah di sana pikirku. Terbayang website sebuah campus yang aku ingin untuk ada di sana beberapa tahun yang lalu. Suatu saat mungkin Tuhan buka jalan supaya aku ada di sana.
Sebuah sms muncul di HPku di akhir tahun yang lalu. SMS itu berbunyi "Selamat Tahun Baru. Gimana kabar studymu? Jadi ambil di Singapura?" Ya, dulu aku sempat tanya-tanya tentang study di Singapura. Akhirnya, teman itu memberi sebuah contact person rektor sebuah tempat study, dan aku menghubunginya untuk mendapatkan informasi studi di tempat itu.
Email itu berlanjut ke proses aplikasi, pembaharuan paspor, membuat tulisan tentang pertobatanku, visiku, panggilan dan rencana kedepan serta aktivitas & pekerjaan selama ini. Tulisan berbahasa inggrispun mulai kubuat. Aplikasi secara hati-hati aku isi. dan ketika semua sudah lengkap persyaratan yang ada, aku mengirimkan aplikasi tersebut. Passport yang sudah kadaluarsa bulan itupun kuperpanjang. Pass foto dipersiapkan. Rekomendasi dari orang yang dikenal dekatpun sudah terkirimkan. Semua sudah lengkap dan tinggal menunggu keputusan.
Hal kedua yang merisaukanku adalah masalah pendanaan studi. Biaya studi di luar negeri itu mahal. mungkin dua kali biaya studi di Indonesia. Seperti masuk sekolah kedokteran saja rasanya meliat anggaran yang ada di depanku.
Tapi hal itu tidak membuat putus asa. Aku coba pendekatan yang selama ini aku lakukan kalau mengalami masalah atau kendala. Mencoba mencari jalan keluar yang mungkin untuk dijalani.
Aku mencoba melihat semua resources yang ada saat ini. Orang-orang, relasi, akses untuk beasiswa, tunjangan pokok dari tempat aku kerja saat ini yang masih diberikan selama studi. Aku mencoba menghitungnya dengan baik. Munculah angka-angka yang aku bergumul bagaimana untuk mendapatkannya. Aku paling tidak suka pinjam uang. Dan itu adalah alternatif paling terakhir bagiku jika sudah amat sangat mepet dan tidak ada lagi jalan keluar. Juga aku belajar bergantung pada Tuhan dalam memenuhkan segala kebutuhanku.
Pergumulan tentang pendanaan ini berlangsung 2 bulan terakhir. Akhirnya aku belajar untuk mulai share ke keluarga (kakak-kakak dan saudara). Awalnya responnya datar.. ada yang diam, menanggapi biasa saja, ada juga yang sangat support. Ya, keluarga merupakan tempat bagiku berbagi, walaupun termasuk susah budaya di keluargaku kalau pinjam uang dengan saudara yang lain (sangat tidak mengenakkan). Tetapi support dari seorang kakakku membuatku yakin bahwa masih ada kakak yang peduli dan memperhatikan kondisi adiknya. Ya, satu kakak bersedia memberikan support. Mungkin kasus setiap orang bisa berbeda-beda ya. Aku lebih suka melibatkan keluargaku untuk masalah ini.
Sisanya yang lain adalah bergantung pada Tuhan tentang bagaimana kelanjutannya. Dari awal, sangat terasa bahwa semua usahaku berujung pada ketidakpastian yang diberi-Nya. Supaya aku bergantung pada Tuhan dan bukan pada kekuatanku sendiri. Secermat apapun aku memikirkannya, merencanakannya, selalu lebih besar ruang ketidakpastian itu karena di situ aku bergantung pada-Nya.
Saat ini, 3 bulan sebelum studiku di mulai, baru 33 % dari total biaya 1 tahun yang pasti. Sisanya aku belum tahu dari mana. Aplikasi sponsor atau beasiswaku belum ada tanggapan yang jelas. Masih tertutup. 33 % itupun tergantung komitmen dari yang memberinya. Jadi kalau boleh dibilang tetap saja hasil akhirnya adalah Belajar bergantung pada TUHAN sepenuhnya, bukan pada kekuatanku.
Aku akan cerita perkembangan, langkah demi langkah kecilku menuju tempat studiku di blog ini. Sekedar berbagi dan bercerita. Supaya ketika aku membaca ulang tulisan ini, aku tahu Tuhan berkarya jauh lebih dasyat dari apa yang aku doakan dan gumulkan.
Doakan saya ya.. Thanks karena sudah berdoa. Met persiapan paskah.
Blessings,
Fona