My Half Time

Memasuki usia yang semakin meninggalkan usia 30 membuat saya berpikir ulang tentang banyak hal. tentang pekerjaan yang sedang dikerjakan, tentang rencana-rencana kedepan. Tentang tujuan dan makna hidup.

Setidaknya saya sudah melewati half time of my life di bumi ini. Dan masih ada waktu yang tersisa. Waktu yang ada itu mau digunakan untuk apa? Dengan tujuan yang lebih spesifik, yang menurut saya membuat hidup lebih bermakna.

Pemahaman saya adalah, bahwa hidup di dunia ini singkat. Hidup di dunia ini hanya sementara. Hidup di dunia ini akan berakhir menuju satu titik akhir. Tetapi apa yang saya kerjakan di dunia ini akan berdampak pada saya di kekekalan. Setidaknya History hidup saya tercatat di sana dalam sebuah buku Kehidupan di kekekalan. Dan saya berharap di dalam buku itu, salah satunya bercerita tentang hidup saya.

Jika begitu, hidup itu bermakna menurut siapa? menurut penilaian saya?

tentunya tidak. jika menurut penilaian saya, maka hidup saya tidak dilihat secara objectif. ada satu penilaian lain yang dibutuhkan untuk menakar, mengukur nilai hidup seseorang.

Penilaian itu penilaian Tuhan. Timbangan-Nya, takaran-Nya. Takarannya yang adil.

Saya mulai memikirkan tentang hidup yang berarti itu seperti apa.

hmm, saya memulai dengan merasa bahwa hidup saya berarti jika saya sekolah lagi ke bidang yang sangat saya sukai. walau berbeda dengan sekolah yang awalnya saya ambil di S1, saya ingin sekali mengambil S2 di bidang yang berbeda. bidang itu adalah Theologia.

Bidang ini kadang membuat saya tidak bisa tidur. Kadang bisa juga membuat saya tidur sangat nyenyak dan pulas. Kadang ia menggelisahkan saya hingga berjam-jam. menggambarkannya di langit-langit kamar saya setiap saya bangun tidur dan sebelum saya memejamkan mata. Sebenarnya aku bukan jatuh cinta pada ilmunya, tetapi pada misteri yang agung yang ada di dalamnya. Menjeratku dalam kecintaan yang sulit aku ekspresikan, sehingga aku memutuskan untuk mencari dan mendapatkannya. Walaupun aku harus memutar haluan. 8 tahun lebih aku bergumul dengan pekerjaan yang amat bersinggungan langsung dengannya. dan sekarang, aku memilih untuk mendalami ilmunya secara langsung. dan aku tidak ingin bermain dengan hal itu. aku ingin serius, seserius seorang dokter yang ingin mengambil spesialis dalam bidangnya. seakan menjadi bagian hidup yang tak ingin di hilangkan dalam cerita hidup. Ya aku ingin, di CV hidupku, bidang ini berhasil aku dapatkan, ku pelajari dan ku tekuni.

Tetapi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah dengan mendapatkannya aku bahagia?

pasti tidak mudah menjalani studi 3-4 tahun berkutat dengan buku, jurnal, tafsir, bahasa-bahasa asing yang memusingkan kepala. Tapi aku ingin belajar theologi, seperti seorang dokter yang mengambil spesialisasi bedah dan menjadi bangga dengannya.

Tapi... bagaimana jika Ia berkata ketika aku tiba di Kerajaan-Nya :"Anakku, bukankah Theologia yang terbaik adalah memberkati orang-orang miskin dan yang membutuhkan di sekelilingmu? menolong mereka dalam kesulitan mereka, membebaskan belenggu-belenggu, menuntun yang tersesat. Bukankah itu ibadah yang berkenan bagi-Ku?"

Theologia yang terbaik bukanlah pengetahuan tentang Allah, tetapi pengenalan akan Allah! Melalui orang-orang disekelilingmu, alam disekitarmu, melalui Firman-Nya.

Teringat kata-kata John Stott: "God's Word is designed to make us Christians, not scientists, and to lead us to eternal life through faith in Jesus Christ. It was not God's intention to reveal in Scripture what human beings could discover by their own investigations and experiments." Christian Basics-John Stott

Keputusan ini tinggal 2 minggu kedepan. Dan akan ada hasil keputusan dari sekolah Theologianya. hmm, aku tidak siap dengan keputusannya. Aku sangat ingin belajar, tetapi aku tidak siap untuk pergi. itulah kondisiku. aku teringat mamahku. dan itu yang paling membuatku tidak ingin pergi jauh.


to be continued..





























Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mempersiapkan dan Menyusun Khotbah/Renungan

Doa Agur Amsal 30:7-9

Jalan Keselamatan