Gempa di Jogja 2006

Berita di Twitter beberapa jam yang lalu mengejutkanku. Ya, ada gempa bumi di perairan laut Aceh. Kekuatannya 8.6 skala richter. Berpotensi Tsunami.

Ah, negaraku memang rawan bencana gempa. Seakan menjadi berita yang biasa terdengar setiap tahun. Bahkan sangat dekat di sekitarku.

Gempa tahun 2006
Teringat tahun 2006 ketika gempa di Jogja yang memakan korban banyak karena banyak rumah yang runtuh. itu adalah pengalaman yang paling mengerikan yang pernah aku alami.
Ketakutan, panik pada awalnya pada waktu gempa di Jogja 6 tahun yang lalu itu. Ketika teman meminta untuk semua rekan-rekan pergi ke rumah sakit untuk menolong banyak korban yang tidak tertolong di rumah sakit. Kamipun pergi ke sana. Awalnya tampak biasa saja.. tapi kondisi makin panik ketika sirene suara ambulan dan mobil2 berdatangan secara mendadak membawa korban dari pedesaan yang banyak rumah roboh.

Ada yang datang dengan truk, pickup, mobil, motor, dll, banyak yang terluka karena terkena bangunan yang roboh. Luka di kepala, tangan, kaki, dll. Karena rumah sakit tak dapat lagi menampung, mereka di letakkan di lorong-lorong rumah sakit. bahkan di parkiran dengan tenda seadanya. Mobil-mobil berdatangan membawa korban. Seorang berkata "masih banyak korban yang tertimbun..masih banyak lagi yang menunggu di sana untuk diantar ke sini" suasana berubah menjadi mencekam di sana. Jarak perjalanan mereka 30-45 menit. Mereka berasal dari desa-desa disekitar kota Jogja.

Awalnya kami menyediakan air panas dispencer yang kami letakkan di sebuah pojok di rumah sakit itu. Dan ternyata itu bermanfaat bagi mereka. Lalu kami coba untuk mencari ke warung-warung makan yang masih buka, memesan nasi sebanyak yang bisa untuk dibagikan kepada korban bencana maupun keluarga mereka yang menunggu. Malam itu kami tinggal di Rumah Sakit untuk menjadi voluntir.

Beberapa teman membantu merawat luka. Aku teringat dengan satu peristiwa yang tidak mungkin aku lupakan. Seorang pemuda bertanya padaku dengan wajah pucat. "Mbak bisa bantu membacakan ayat kitab2 ini untuk ayah saya" Matanya berkaca-kaca. Saya tidak bisa membaca ayat2 itu karena bukan keyakinan yang sama denganku. Ia membawaku ke tempat ayahnya berbaring di lantai rumah sakit yang penuh dengan pengungsi dan korban itu. Dari mulut ayahnya keluar darah, menandakan memang  iya kritis dan ada pendarahan di dalam tubuhnya akibat kejatuhan atau tertimbun bangunan. Ah, aku mencari seorang teman yang bisa membacakan ayat-ayat tersebut bagi pemuda itu. Aku tidak dapat berbuat apa-apa, semua orang menjadi korban, sudah tidak bisa dibedakan mana yang kritis mana yang tidak.. dan pemuda itu sadar bahwa ayahnya tinggal menunggu waktunya...

Satu hal lagi yang tidak bisa aku lupakan di masa itu. Rumah sakit itu sangat kotor. Lantai kotor dengan bekas darah, perban, kassa, kapas berserakan dimana-mana. Ada seorang ibu voluntir yang menarik perhatianku. Ia mengambil plastik besar dan memungut sampah-sampah itu. Aku mengikuti jejaknya. Dengan memakai masker dan sarung tangan, kami berdua memungut satu demi satu sampah kassa, kapas dan perban berdarah yang berserakan itu dan memasukkannya ke kantong sampah. Setidaknya beberapa tempat jadi lebih baik. Seorang rekan yang bekerja di rumah sakit mengingatkan "hati-hati ya, harus pakai masker dan sarung tangan!" Melewati orang-orang yang merintih kesakitan, menangis karena sakit, trauma, luka, terbaring seadanya di tikar dan di taman rumah sakit itu.

Demi kemanusiaan, itulah yang ada dibenakku. Disitu aku belajar apa artinya menolong orang lain. Berbagi makanan. Melihat senyum kecut di wajah mereka ketika menerima nasi bungkus di malam itu. Setidaknya malam itu mereka bisa makan ditengah penderitaan mereka. Semua bergandengan tangan entah dari medis dan non medis, pegawai rumah sakit atau voluntir bahu membahu menolong mereka yang menjadi korban. petugas cleaning service dari hotel yang ada di depan rumah sakit itupun dikerahkan untuk membersihkan lantai rumah sakit.

itulah sedikit pengalaman ketika ada bencana di Jogja..

Ketika ada kesempatan untuk pergi melihat keadaan desa-desa itu, kondisinya waktu itu mengerikan. Rumah-rumah banyak yang roboh. puing-puing berserakan dan warga membuat tenda-tenda darurat untuk tempat tinggal. Kadang lewat  di satu tempat tertentu ada bau busuk setelah beberapa hari masih ada bangunan yang belum juga dibongkar.

Bencana semakin lama menjadi akrab bagi kami. Sudah bukan hal yang asing lagi kalau terdengar ada gempa, tsunami, banjir.. ya, aku ada di zaman yang seperti itu. Dan inilah zamanku sekarang, harus siap sedia dengan keadaan apapun...

Please pray for Indonesia!
salam!








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mempersiapkan dan Menyusun Khotbah/Renungan

Doa Agur Amsal 30:7-9

Jalan Keselamatan